
Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia diwarnai oleh gelombang demonstrasi dan protes masyarakat yang memuncak pada isu “17+8”. Tuntutan ini muncul dari kejengahan rakyat atas berbagai kebijakan dan perilaku pejabat publik.
Tuntutan “17+8” merujuk pada 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang bergulir di masyarakat. Meski sering diringkas dalam slogan transparansi, reformasi, dan empati, terdapat beberapa poin utama yang sebenarnya diinginkan masyarakat, yaitu:
- Kepolisian yang mengayomi: Adanya reformasi kepolisian yang tidak represif dan mengayomi masyarakat.
- Wakil rakyat yang amanah: Wakil rakyat yang benar-benar merepresentasikan dan mengedepankan kepentingan rakyat, bukan oligarki atau pihak lain.
- Ketentaraan kembali ke barak: Militer tidak terlibat dalam urusan sipil untuk menghindari trauma masa lalu dan potensi militerisme.
- Komitmen pada pemberantasan korupsi: Pemberantasan korupsi yang tegas, termasuk perampasan aset, agar uang rakyat tidak disalahgunakan.
Tuntutan parsial atau solusi tambal sulam, apalagi yang didorong oleh ideologi di luar Islam, tidak akan memberikan solusi tuntas dan hanya akan mengulang penderitaan yang sama, seperti yang terlihat dari kegagalan reformasi ’98 dalam menghentikan korupsi dan perampokan SDA.
Islam Menawarkan Solusi Tuntas
Islam memiliki kerangka solusi yang komprehensif untuk setiap poin tuntutan tersebut.
- Kepolisian yang Mengayomi
Dalam sejarah Islam, posisi kepolisian telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW di Madinah, sebuah negara Islam pertama. Qais bin Sa’ad bin Ubadah al-Anshari diangkat sebagai shahibus syurath (kepala polisi) oleh Nabi SAW.
Dalam khazanah Islam, polisi bertugas menjaga sistem, mengelola keamanan dalam negeri, dan melaksanakan aspek implementatif kebijakan pemerintah (khalifah). Polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem, dan melindungi keamanan
Sebagai pembantu khalifah, polisi tidak boleh represif terhadap masyarakat. Mereka harus melayani dan mengayomi, terikat dengan syariat, dan tidak boleh melakukan praktik-praktik seperti pungli.
Polisi dalam Islam wajib melindungi hak berpendapat masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan mendasar. Tugas polisi adalah melindungi massa aksi dari provokator, bukan membubarkan paksa aksi yang berlarut-larut. Reformasi kepolisian sejati adalah menempatkan polisi sesuai makamnya dalam Islam, yaitu melindungi penerapan syariat.
- Wakil Rakyat yang Amanah
Islam memiliki konsep Majelis Umat sebagai perwakilan masyarakat. Landasan hukumnya berasal dari peristiwa Baiat Aqabah kedua, di mana Nabi SAW meminta ditunjuk 12 naqib (perwakilan) dari kaum Anshar yang bertanggung jawab atas kaum mereka.
Anggota Majelis Umat harus mewakili masyarakat secara representatif dan mewakili kelompok-kelompok masyarakat. Berbeda dengan sistem demokrasi yang seringkali memilih wakil rakyat berdasarkan popularitas atau modal, Majelis Umat harus lahir dari rahim masyarakat dan memahami kondisi mereka.
Di antara yang menjadi wewenang Majelis Umat, adalah:
- Memberikan masukan kepada khalifah dalam urusan publik.
- Memberikan pandangan perihal qanun (undang-undang) yang akan ditetapkan oleh khalifah. Penting dicatat, Majelis Umat tidak membuat undang-undang (minus legislasi), karena legislasi dalam Islam digali dari Al-Qur’an dan Sunnah dan ditetapkan oleh khalifah. Ini mencegah lahirnya undang-undang yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
- Mengoreksi khalifah. Ini adalah tugas mulia yang termasuk dalam aspek ibadah. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” Fungsi ini menjadi check and balance yang hilang dalam sistem demokrasi saat ini.
- Menyatakan ketidaksetujuan atas pejabat yang tidak kompeten atau tidak mengayomi rakyat.
- Ketentaraan Kembali ke Barak
Tuntutan agar militer kembali ke barak dan tidak terlibat dalam urusan sipil juga relevan dalam Islam.
Islam menegaskan adanya amir (pemimpin) bagi pasukan, dan dalam pemerintahan Islam ada posisi Amirul Jihad atau Dair al-Harbiyah (Departemen Peperangan). Militer dalam Islam tidak hanya berorientasi pertahanan (defense), tetapi juga peperangan (harb) untuk menyebarkan rahmat Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
Karena fungsi dan tugas ini, militer dalam Islam akan sangat sibuk mempersiapkan dan melakukan jihad atau futuhat (penaklukan). Mereka tidak akan memiliki waktu atau kesempatan untuk mengurusi urusan di luar kemiliteran, dan bahkan tidak boleh terlibat dalam urusan sipil. Kaidah dalam Islam menyatakan, “Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.” Dengan demikian, fokus militer yang hanya pada urusan kemiliteran adalah wajib untuk menyempurnakan kewajiban jihad.
- Komitmen pada Pemberantasan Korupsi
Isu korupsi yang marak dan alotnya pengesahan undang-undang perampasan aset menjadi sorotan penting. Islam memiliki mekanisme tegas untuk memberantas korupsi.
Dalam Islam ada pengawasan sejak awal. Rasulullah SAW pernah mengutus orang untuk mengawasi Muadz bin Jabal saat menjabat gubernur di Yaman, untuk memastikan tidak ada praktik ghulul (kecurangan/korupsi). Ini menunjukkan adanya pengawasan ketat terhadap harta umat sejak awal, seperti fungsi KPK di masa Nabi.
Ghulul adalah harta yang diperoleh oleh pejabat atau pegawai negara dengan cara tidak syar’i, baik dari harta negara maupun harta masyarakat, melalui penyalahgunaan wewenang (abuse of power) untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Dalam Islam, harta ghulul diharamkan. Pejabat yang terbukti korupsi akan dikenakan hukuman takzir (hukuman sesuai kebijakan hakim), dan harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya atau disita ke Baitul Mal (kas negara). Jika harta fisik sudah tidak ada, maka aset pribadi koruptor akan dirampas untuk mengganti kerugian.
Audit kekayaan pejabat dalam sistem Islam pun diselenggarakan. Khalifah Umar bin Khattab RA sering melakukan audit kekayaan pejabat. Jika ditemukan lonjakan kekayaan yang mencurigakan, harta tersebut akan disita oleh negara. Pejabat dalam Islam tidak menerima gaji besar, melainkan hanya tunjangan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena mereka bertanggung jawab atas umat, bukan sekadar karyawan.
***
Berbagai peristiwa yang kita saksikan saat ini seharusnya mendorong kita untuk menggali dan menyadari bahwa sistem Islam telah menyediakan solusi lengkap untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan kondusif. Semua kisruh yang terjadi hari ini tidak lain diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalistik yang harus segera diganti dengan sistem Islam.
Masyarakat tidak perlu dipertanyakan kesiapannya untuk hidup dalam keadilan dan kesejahteraan, karena itu adalah kebutuhan fitrah manusia. Tugas kita semua adalah mengedukasi dan mensosialisasikan sistem Islam ini secara luas, dengan berbagai cara yang syar’i dan dapat diterima oleh masyarakat. Penting untuk mengokohkan akidah umat agar mereka yakin bahwa sistem yang datang dari Allah ini bukan hanya adil dan menyejahterakan, tetapi juga berkah.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV: