Di tengah maraknya penggunaan istilah “Agama Abrahamik” (Abrahamic Religions) yang seolah menyatukan Islam, Yahudi, dan Kristen dalam satu rumpun, Al-Qur’an telah memberikan jawaban yang tegas dan jernih ribuan tahun lalu. Istilah ini seringkali digunakan untuk menggiring opini bahwa ketiga agama ini pada dasarnya sama, padahal perbedaan akidah di antara ketiganya sangat fundamental.
Sejumlah surah dalam Ali Imran yang secara langsung menjawab klaim tentang identitas sejati Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan hubungannya dengan agama-agama tersebut, memberikan landasan yang kokoh bagi seorang Muslim dalam memahami agamanya.
Undangan Menuju Titik Temu: Apa Sebenarnya ‘Kalimatun Sawa’? (Tafsir Ayat 64)
Ayat ini adalah seruan dakwah yang elegan dari Allah kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk kembali pada esensi ajaran para nabi.
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim.'” (QS. Ali Imran [3]: 64)
Ayat ini sering disalahgunakan oleh kaum pluralis untuk mengklaim adanya kesamaan antara Islam, Yahudi, dan Kristen. Padahal, logika sederhana dari ayat ini justru menunjukkan sebaliknya: jika mereka diundang menuju sebuah “kalimat yang sama”, artinya mereka belum berada di atas kalimat tersebut. Ini adalah ajakan untuk kembali ke jalan yang lurus, bukan pernyataan bahwa semua jalan sudah benar.
“Kalimat yang sama” atau kalimatun sawa’ yang dimaksud bukanlah kompromi akidah, melainkan ajaran inti yang dibawa oleh semua nabi, yang dirangkum dalam tiga pilar utama:
Tiga Pilar Utama ‘Kalimatun Sawa’
- Alla na’buda illallah (Tidak menyembah selain Allah): Ini adalah inti dari tauhid murni. Dalam tata bahasa Arab, kalimat ini menggunakan gaya bahasa pengkhususan (qashr), yang diawali dengan penolakan total (‘kita tidak menyembah apapun’) lalu diikuti satu pengecualian (‘selain Allah’). Struktur ini mengunci makna ibadah hanya untuk Allah semata, tanpa ada celah sedikit pun bagi selain-Nya.
- Wala nusyrika bihi syai’an (Tidak menyekutukan-Nya dengan apapun): Ini adalah penegasan untuk menolak segala bentuk syirik. Termasuk di dalamnya adalah keyakinan yang mengangkat manusia ke derajat ketuhanan, seperti keyakinan sebagian Ahli Kitab bahwa Uzair atau Isa adalah ‘anak Tuhan’. Ajaran tauhid menolak keras konsep menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
- Wala yattakhidza ba’duna ba’dan arbabam min dunillah (Tidak menjadikan sebagian kita sebagai tuhan selain Allah): Makna pilar ketiga ini sangat dalam. Ia berarti tidak menaati tokoh-tokoh agama, pendeta, atau rahib yang menghalalkan apa yang Allah haramkan atau sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad ﷺ kepada Adi bin Hatim, menaati mereka dalam kemaksiatan semacam itu pada hakikatnya adalah menjadikan mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah.
Dengan demikian, ayat 64 ini justru meruntuhkan gagasan pluralisme agama. Ia tidak mengatakan semua agama sama, tetapi menetapkan Tauhid Murni sebagai satu-satunya titik temu yang benar dan mengajak Ahli Kitab untuk kembali kepadanya.
Setelah memberikan undangan universal berbasis Tauhid, Al-Qur’an beralih untuk membantah klaim spesifik mereka mengenai sosok Nabi Ibrahim.
Bantahan Logis Berbasis Sejarah: Siapa Datang Lebih Dulu? (Tafsir Ayat 65)
Setelah menetapkan dasar tauhid, Allah membantah perdebatan Ahli Kitab yang saling mengklaim Nabi Ibrahim sebagai pengikut agama mereka. Bantahan ini menggunakan argumentasi logis yang tidak bisa disangkal.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنجِيلُ إِلَّا مِن بَعْدِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Wahai Ahli Kitab! Mengapa kamu berbantah-bantahan tentang Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan setelah dia (Ibrahim)? Apakah kamu tidak mengerti?” (QS. Ali Imran [3]: 65)
Untuk memahami kekuatan bantahan ini, kita perlu mengetahui konteks historis turunnya ayat ini (sabab nuzul). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa para pendeta Yahudi dan Nasrani dari Najran berkumpul di sisi Nabi Muhammad ﷺ dan mereka berdebat sengit tentang Nabi Ibrahim. Kaum Yahudi mengklaim, “Ibrahim adalah seorang Yahudi,” sementara kaum Nasrani mengklaim, “Ibrahim adalah seorang Nasrani.” Maka Allah menurunkan ayat-ayat ini sebagai keputusan ilahi untuk mengakhiri perdebatan mereka.
Allah menjawab perdebatan ini dengan sebuah bantahan telak berbasis kronologi sejarah.
Argumentasi Kronologis Al-Qur’an
- Nabi Ibrahim hidup jauh di masa lampau. Beliau adalah bapak para nabi (Abul Anbiya).
- Kitab Taurat baru diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, ribuan tahun setelah masa Nabi Ibrahim. Agama Yahudi didasarkan pada syariat dalam Taurat.
- Kitab Injil baru diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, jauh setelah masa Nabi Musa. Agama Nasrani didasarkan pada ajaran dalam Injil.
- Kesimpulan Logis: Al-Qur’an mengajukan pertanyaan retoris yang kuat: “Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim disebut seorang Yahudi atau Nasrani, jika kitab suci dan syariat keduanya (Taurat dan Injil) baru diturunkan jauh setelah beliau wafat?”
Allah menggunakan logika kronologis yang tidak terbantahkan. Bagaimana mungkin seseorang mengikuti syariat dari sebuah kitab (Taurat atau Injil) yang bahkan belum ada pada masanya? Mustahil Ibrahim disebut Yahudi karena agama Yahudi (dengan syariat Tauratnya) datang setelah beliau, dan mustahil pula disebut Nasrani karena ajaran Injil baru turun ribuan tahun kemudian. Ini adalah bantahan yang menggunakan akal sehat dan fakta sejarah yang bahkan diakui oleh mereka sendiri.
Setelah membantah klaim mereka secara logis, Allah kemudian memberikan keputusan final tentang status dan agama Nabi Ibrahim yang sebenarnya.
Keputusan Final: Inilah Agama Nabi Ibrahim yang Sebenarnya (Tafsir Ayat 67)
Ayat ini adalah pernyataan penegas dari Allah yang meluruskan semua klaim dan menutup perdebatan tentang identitas agama Nabi Ibrahim.
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim, dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran [3]: 67)
Untuk memahami kedalaman maknanya, mari kita bedah istilah-istilah kunci dalam ayat ini.
| Istilah Kunci | Makna dalam Konteks Ayat | Implikasi Pentingnya |
| Bukan Yahudi & Bukan Nasrani | Sebuah penegasan penolakan (negasi) terhadap klaim Ahli Kitab. | Ini adalah penolakan langsung dan definitif atas klaim kepemilikan yang diperebutkan oleh kedua golongan tersebut. Allah secara tegas menyatakan Ibrahim berada di luar kategori mereka. |
| Hanif | Lurus, murni, dan condong kepada kebenaran (tauhid), tidak bengkok ke kanan (Yahudi) atau ke kiri (Nasrani). | Nabi Ibrahim berada di jalan tauhid yang murni, tidak condong pada penyimpangan apapun, baik yang dianut kaumnya maupun yang kelak muncul pada sebagian Ahli Kitab. Ini adalah status keagamaannya yang asli dan independen. |
| Muslim | Seseorang yang berserah diri secara total kepada kehendak dan syariat Allah. | Ini adalah esensi agama semua Nabi, yaitu kepasrahan dan ketundukan total kepada Allah, yang merupakan makna hakiki dari ‘Islam’. |
| Bukan Golongan Musyrik | Sebuah penegasan bahwa Nabi Ibrahim sama sekali tidak menyekutukan Allah. | Ini secara langsung membantah keyakinan yang mengangkat manusia (seperti Uzair atau Isa) pada status ‘anak Tuhan’, yang merupakan bentuk syirik. |
Dengan demikian, gelar sejati yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim adalah Hanif Muslim: seorang yang lurus dalam ketauhidannya dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Inilah millah (jalan agama) Ibrahim yang sejati, yaitu ajaran tauhid yang murni, yang kemudian disempurnakan dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Pelajaran dari Tiga Ayat Penentu
Rangkaian tiga ayat dari Surah Ali Imran ini memberikan fondasi yang sangat kuat bagi seorang Muslim untuk memahami posisi agamanya dan menolak narasi-narasi keliru yang berusaha menyamaratakan semua agama.
Berikut adalah tiga pelajaran utama yang dapat kita ambil:
- Titik Temu adalah Tauhid Murni: Islam mengajak Ahli Kitab bukan untuk berkompromi dalam akidah, melainkan untuk kembali ke titik temu sejati yang diajarkan semua nabi: menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.
- Klaim Sejarah yang Mustahil: Secara historis dan logis, mustahil Nabi Ibrahim menganut agama Yahudi atau Nasrani, karena syariat kedua agama tersebut baru diturunkan jauh setelah masa hidup beliau.
- Identitas Sejati Ibrahim: Status definitif Nabi Ibrahim menurut Allah adalah seorang Hanif Muslim—penganut tauhid murni yang lurus dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah, bersih dari segala bentuk kemusyrikan.
Pemahaman yang benar atas ayat-ayat ini sangat penting, terutama di era modern. Gagasan keliru seperti “Abrahamic religions” sering digunakan untuk tujuan politik—seperti yang terlihat dalam Abraham Accords—dengan cara mengaburkan perbedaan akidah yang fundamental antara Islam dengan Yahudi dan Kristen. Tujuannya adalah menormalisasi hubungan dengan entitas yang secara aktif memusuhi kaum Muslim, dengan mencatut nama mulia Nabi Ibrahim.
Sebagai seorang Muslim, kita harus percaya diri dengan ajaran Islam yang sangat jelas, logis, dan tegas dalam menjelaskan posisi para Nabi dan Rasul. Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk, tetapi juga pembeda (Al-Furqan) antara yang hak dan yang batil.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
