Di Balik ‘Pasang Badan’ Prabowo untuk Utang Whoosh & Euforia Walikota Muslim New York: 5 Fakta Mengejutkan yang Wajib Dicermati
Dua berita besar baru-baru ini menyita perhatian publik: pernyataan tegas Presiden Prabowo yang “pasang badan” untuk menanggung utang kereta cepat Whoosh, dan kemenangan Zohran Mamdani yang dirayakan sebagai walikota Muslim pertama di New York. Narasi yang muncul di permukaan tampak gagah dan penuh harapan. Namun, di balik narasi besar tersebut, apa sebenarnya fakta-fakta tersembunyi yang perlu kita ketahui?
1. Utang Whoosh Bukan Sekadar “Untung-Rugi”, Tapi Potensi Jebakan 100 Tahun
Presiden Prabowo meminta publik untuk tidak menghitung untung-rugi dari proyek Whoosh, dengan justifikasi bahwa ini adalah public service obligation—sebuah istilah yang biasanya digunakan untuk layanan esensial, kini diterapkan pada proyek mewah berbiaya tinggi dengan rute terbatas. Di balik retorika tersebut, terdapat angka yang mengkhawatirkan. Total utang proyek ini mencapai sekitar 116 hingga 118 triliun rupiah, sementara cicilan yang harus dibayar negara adalah 1,2 triliun rupiah setiap tahunnya.
Dengan perhitungan sederhana, jika setiap tahun hanya mampu membayar 1,2 triliun, maka dibutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk melunasi pokok utang tersebut. Perspektif ini mengubah narasi dari sekadar “pelayanan publik” menjadi sebuah “beban lintas generasi” yang akan ditanggung oleh anak cucu kita.
2. Janji “Tanpa APBN” yang Sirna dan “Bom Waktu” Bernama KAI
Gagasan proyek ini, menurut para saksi kebijakan publik, bermula saat Presiden Jokowi terkesan setelah diajak menaiki kereta cepat oleh Presiden Xi Jinping di Tiongkok—sebuah keputusan yang terkesan impulsif ketimbang berbasis riset mendalam. Sejak awal, proyek Whoosh digembar-gemborkan akan digarap dengan skema Business-to-Business (B2B) tanpa menggunakan dana APBN. Kenyataannya kini berbalik 180 derajat. Pemerintah, melalui APBN dan BUMN, justru harus menanggung beban utang raksasa ini.
Beban yang awalnya dibagi dalam konsorsium BUMN (WIKA 38%, PTPN VIII 25%, KAI 25%, Jasa Marga 12%) kini terkonsentrasi pada PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ironisnya, Direktur Utama KAI sendiri pernah memberikan peringatan keras mengenai risiko ini di hadapan DPR, menyebut utang Whoosh sebagai ancaman serius.
Pernyataan ini menjadi sebuah ironi pahit. KAI, yang memiliki tanggung jawab melayani perkeretaapian di seluruh Indonesia, kini harus menanggung beban dari sebuah proyek yang sejak awal dijanjikan tidak akan menyentuh uang negara.
3. Bunga Utang yang Lebih Rumit dari Sekadar Angka 2%
Narasi yang beredar sering kali menyederhanakan bahwa bunga utang Whoosh hanya 2%. Fakta yang tersembunyi ternyata jauh lebih kompleks dan memberatkan. Berdasarkan skema pembiayaan, hanya 60% dari total pinjaman (dalam Dolar AS) yang memiliki bunga 2% per tahun. Sementara itu, sisa 40% pinjaman (dalam Yuan Tiongkok) dikenakan bunga yang jauh lebih tinggi, yaitu 3,46% per tahun.
Detail ini sangat penting karena menunjukkan bahwa beban bunga sebenarnya lebih berat dari yang sering diperbincangkan. Struktur mata uang ganda ini, yang sering kali melibatkan mata uang pemberi pinjaman (Yuan), adalah ciri khas pinjaman strategis karena memasukkan risiko nilai tukar dan mengurangi transparansi, sehingga memperketat kendali pemberi pinjaman atas negara peminjam. Skema ini mengingatkan kita pada strategi “jebakan pinjaman” (debt trap) dari Tiongkok yang telah menjerat banyak negara lain, seperti Sri Lanka dan Kenya.
4. Di Balik Retorika Gagah, Ada Skenario “Saling Kunci” Politik
Sikap “pasang badan” Presiden Prabowo harus diinterpretasikan bukan sekadar sebagai keberanian seorang pemimpin, melainkan sebagai langkah terukur dalam sebuah dinamika politik yang kompleks. Istilah “hopeng” (teman baik) yang digunakan Prabowo untuk Jokowi oleh para analis dimaknai lebih dari sekadar persahabatan biasa.
Hubungan “hopeng” ini ditafsirkan sebagai kondisi politik “saling menyandera”: Prabowo tidak akan menjadi presiden tanpa dukungan Jokowi, dan Jokowi berpotensi menghadapi konsekuensi hukum tanpa perlindungan Prabowo. Dalam konteks ini, hubungan tersebut dapat diartikan sebagai ikatan saling melindungi, atau bahkan sebagai friend in crime. Hal ini menunjukkan bahwa di balik panggung politik, sering kali ada kepentingan rumit yang membuat seorang pemimpin mengambil keputusan yang tampaknya gagah di permukaan, namun sebenarnya terikat oleh berbagai konsesi di belakang layar.
5. Kemenangan Walikota Muslim New York: Ganti Orang, Bukan Ganti Sistem
Terpilihnya Zohran Mamdani sebagai walikota Muslim pertama di New York disambut dengan euforia oleh sebagian kalangan. Namun, kita perlu melihatnya secara lebih kritis. Mamdani adalah seorang “sosialis demokrat” yang lahir dari keluarga akademisi dan sutradara film, serta merupakan seorang mantan rapper. Bahkan, istrinya pun tidak mengenakan hijab, sebuah detail yang menunjukkan lingkungan sekuler-liberal tempat ia beroperasi.
Terpilihnya seorang Muslim sebagai pemimpin dalam sebuah sistem demokrasi sekuler tidak serta-merta berarti sistem Islam yang akan diterapkan. Contoh nyata adalah kasus Sadiq Khan, Walikota London. Meskipun seorang Muslim, sebagai pemimpin dalam sistem tersebut, ia pada akhirnya harus mendukung dan melegalisasi kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti isu LGBT. Ini menjadi pengingat bahwa kemenangan individu bukanlah kemenangan sistem nilai yang dianutnya; ini hanyalah tentang mengganti orang, bukan mengganti sistem.
***
Baik itu proyek infrastruktur triliunan rupiah yang dibungkus retorika nasionalis, maupun kemenangan elektoral yang dirayakan namun menyembunyikan sistem sekuler yang tak berubah, kedua peristiwa ini menunjukkan betapa krusialnya untuk melihat melampaui narasi yang disajikan oleh mereka yang berkuasa. Sebagai masyarakat, adalah sebuah keharusan untuk selalu bersikap kritis, mencari fakta yang lebih dalam, dan tidak mudah terbuai oleh retorika di permukaan.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di Ngaji Shubuh TV:
