Fondasi Teologis: Ukhuwah Islamiyyah sebagai Ikatan Fundamental Umat
Secara paradigmatik, landasan fundamental bagi persatuan umat Islam adalah konsep Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan Islam). Konsep ini melampaui batas-batas geografis, etnis, dan kebangsaan, serta berfungsi sebagai ikatan primordial yang menyatukan setiap individu Muslim di seluruh dunia. Ukhuwah ini bukanlah sekadar sentimen emosional, melainkan sebuah konstruksi teologis yang kokoh dan berimplikasi pada tatanan sosial-politik umat.
Analisis Ikatan Akidah
Ikatan pemersatu yang paling kuat dan hakiki bagi kaum Muslim adalah ikatan akidah Islam. Ikatan ini digambarkan sebagai rabitatun syar’iyyatun rabbaniyatun, yaitu sebuah ikatan yang bersifat syar’i (berdasarkan petunjuk syariat), rabbani (ditetapkan oleh Allah), dan kokoh (daimah). Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT di Surah Al-Hujurat:
“Innamal mukminuna ikhwatun… (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara).”
Penggunaan kata “innama” dalam ayat ini, menurut ilmu balaghah, berfungsi sebagai lil hasr atau pengkhususan. Maknanya, ikatan persaudaraan sejati yang diakui syariat bersifat eksklusif bagi kaum Mukmin. Konsekuensinya adalah, “laa ukhuwah illa bainal mukminin (tidak ada persaudaraan [hakiki] kecuali di antara orang-orang beriman).” Ikatan ini bersifat ‘genetik’ dalam risalah Islam; ia adalah konsekuensi alamiah dan inheren dari keimanan itu sendiri. Jika rasa persaudaraan ini tumpul, maka itu adalah indikasi adanya ‘penyakit’ yang menggerogoti pemahaman akidah umat.
Kontras dengan Nasionalisme
Konsep Ukhuwah Islamiyyah yang universal ini berdiri dalam kontras yang tajam dengan ideologi nation-state (negara-bangsa). Ideologi nasionalisme, yang melahirkan fanatisme kebangsaan (‘asabiyyah wataniyyah), dipandang sebagai “penyakit” yang sengaja dirancang dan disebarkan oleh kekuatan kolonialis—seperti Inggris dan Prancis—untuk memecah belah dan melemahkan kesatuan umat Islam pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah.
Dampak dari ideologi ini sangat nyata, di mana umat terkotak-kotak dalam sekat-sekat negara-bangsa (nation state). Hal ini melahirkan persepsi keliru yang menganggap tragedi yang menimpa saudara seiman di belahan dunia lain, seperti di Gaza dan Sudan, sebagai “urusan luar negeri”. Persepsi semacam ini secara fundamental bertentangan dengan semangat ukhuwah yang diajarkan oleh Islam.
Analogi Kenabian tentang Persatuan
Untuk menggambarkan kekokohan dan keniscayaan persatuan umat, Nabi Muhammad SAW menggunakan analogi-analogi (tasybih) yang sangat kuat dan jelas. Di antara analogi tersebut adalah:
- Laksana Satu Bangunan: Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Al-mu’min lil mu’min kal bunyan yasyuddu ba’dhuhu ba’dha” (Orang mukmin bagi mukmin lainnya laksana satu bangunan yang saling menguatkan). Analogi ini menegaskan bahwa setiap Muslim adalah komponen vital yang berfungsi menopang dan memperkokoh komponen lainnya. Jika satu bagian lemah atau runtuh, maka keseluruhan struktur akan ikut terancam.
- Laksana Satu Tubuh: Dalam hadits lain, beliau memberikan perumpamaan, “Matsalul mu’minin… kal jasadil wahid” (Perumpamaan kaum Mukmin itu seperti satu tubuh). Jika satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh badan akan ikut merasakannya. Analogi ini menggambarkan tingkat kepedulian dan solidaritas yang seharusnya menjadi sifat alamiah kaum Mukmin.
Keharusan untuk mewujudkan ukhuwah yang kokoh ini pada akhirnya menuntut adanya sebuah institusi politik yang mampu menjadi wadah aktualisasinya secara nyata di panggung dunia, yaitu institusi Khilafah.
Mandat Ilahi: Dalil-dalil Normatif dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Kewajiban untuk menegakkan Khilafah tidak hanya berakar pada kebutuhan sosiologis atau historis, tetapi didasarkan pada mandat dan janji yang eksplisit dari Allah SWT serta perintah-perintah tegas dari Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalil normatif ini menjadi landasan syar’i yang tidak dapat diabaikan bagi setiap Muslim.
Janji Kekuasaan dalam Al-Qur’an (Surah An-Nur: 55)
Allah SWT secara tegas menjanjikan kekuasaan kepada umat Islam. Firman-Nya dalam Surah An-Nur ayat 55 merupakan janji yang pasti (nasrullah) bagi kaum Mukmin secara kolektif:
“Wa’adallahulladzina amanu minkum wa ‘amilush shalihat layastakhlifannahum fil ardhi…” (Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa [sebagai khalifah] di muka bumi…).
Ayat ini mengandung tiga janji utama yang akan dianugerahkan kepada umat Islam ketika mereka memenuhi syarat keimanan dan amal saleh:
- Menjadikannya sebagai Khalifah: Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa (khalifah) yang memegang otoritas kepemimpinan di muka bumi.
- Meneguhkan Agama (Tamkin): Allah akan memberikan kemampuan (tamkin) untuk menerapkan ajaran agama Islam secara penuh dan komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan.
- Mengganti Ketakutan dengan Rasa Aman: Allah akan menggantikan kondisi ketakutan dan ancaman dari musuh-musuh Islam dengan rasa aman (amna) yang terjamin.
Janji ini tidak terbatas pada masa lalu, melainkan bersifat berkelanjutan, yang oleh para ulama juga dihubungkan dengan bisyarah (kabar gembira kenabian) tentang akan tegaknya kembali Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah di akhir zaman.
Perintah Kenabian tentang Kepemimpinan Tunggal
As-Sunnah juga memuat dalil-dalil yang secara qath’i (definitif dan tidak menyisakan keraguan) memerintahkan adanya satu kepemimpinan tunggal bagi seluruh umat Islam dan melarang adanya dualisme kepemimpinan.
- Keharaman Dua Khalifah: Rasulullah SAW bersabda, ”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” Hadits ini mengandung dalil tegas tentang keharaman memiliki lebih dari satu khalifah dalam satu masa. Logika ushul fiqih di baliknya adalah untuk mencegah fitnah dan pertumpahan darah yang jauh lebih besar yang dapat timbul dari perpecahan kepemimpinan.
- Kewajiban Berpegang pada Baiat Pertama: Dalam hadits lain, Nabi SAW memerintahkan, “Maka, pegang teguhlah baiat kepada yang pertama, dan yang pertama.” Perintah ini menunjukkan kewajiban untuk setia kepada khalifah yang sah dibaiat pertama kali dan menolak baiat kepada siapapun yang datang setelahnya untuk memecah belah barisan.
Dalil dari Praktik Skala Kecil (Qiyas Awla)
Argumentasi fikih juga dapat ditarik dari prinsip qiyas awla atau min babil aula (analogi yang lebih utama). Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak halal bagi tiga orang yang sedang bepergian (safar) kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin (amir).
Jika dalam urusan sekecil perjalanan tiga orang saja syariat mewajibkan adanya satu pemimpin, maka secara logika, kewajiban untuk mengangkat satu pemimpin tunggal bagi miliaran kaum Muslim di seluruh dunia menjadi jauh lebih besar dan lebih mendesak.
Dalil-dalil normatif dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ini kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh konsensus para ulama terkemuka sepanjang sejarah peradaban Islam.
Legitimasi Intelektual: Konsensus Ulama (Ijma’) tentang Khilafah
Konsep Khilafah sebagai kepemimpinan umum (riayasah ‘ammah) dan tunggal bagi seluruh kaum Muslim bukanlah sebuah interpretasi modern atau pandangan sektarian. Sebaliknya, ia merupakan sebuah ketetapan hukum yang telah disepakati secara konsensus (ijma’) oleh para ulama salaf dari berbagai mazhab.
Definisi dan Fungsi Khilafah Menurut Ulama Salaf
Berikut adalah definisi dan fungsi inti Khilafah menurut beberapa ulama besar, yang menunjukkan kesamaan pemahaman mereka tentang hakikat institusi ini:
| Ulama dan Kitabnya | Definisi dan Fungsi Inti Khilafah |
| Imam Al-Juwaini (Giyasul Umam) | Riyasatun tammah wa za’amatun ‘ammah (kepemimpinan komprehensif dan umum) untuk mengurusi urusan agama dan dunia, menjaga perbatasan, serta menegakkan dakwah dengan argumen (hujjah) dan jihad (saif). |
| Abdul Hay Al-Kattani (At-Taratib Al-Idariyah) | Ar-riyasatul ‘uzhma (kepemimpinan agung) dan al-wilayatul ‘ammah al-jami’ah (kekuasaan yang bersifat global dan komprehensif) yang berfungsi menjaga agama (al-qiyamatu ‘ala hifzi ad-din) dan mengatur urusan dunia (wa siyasat ad-dunya). |
| Imam Al-Qurtubi (Tafsir Al-Baqarah: 30) | Sebuah institusi yang esensial untuk menyatukan suara dan potensi kaum Muslim (li tajtami’a bihil kalimah). Beliau menegaskan tidak ada perbedaan pendapat (laa khilafa) di kalangan umat dan para imam mengenai kewajibannya. |
Penegasan Ijma’ tentang Kesatuan Khalifah
Imam As-Syafi’i, dalam karya-karya monumentalnya seperti Kitab Ar-Risalah dan Kitab Al-Uum, secara tegas menyatakan adanya ijma’ di kalangan kaum Muslim mengenai kesatuan khalifah. Beliau menegaskan bahwa telah menjadi ketetapan ijma’ bahwa khalifah harus satu (an yakunal khalifatu wahidan). Beliau menegaskan ijma’ ini dengan sangat kuat, menyatakan bahwa ketaatan wajib diberikan kepada satu khalifah tersebut, bahkan jika rakyatnya terpisah antara ujung timur dan barat bumi—seperti seorang penggembala di barat dan yang lainnya di timur, keduanya tetap di bawah otoritas satu imam.
Dengan landasan teologis, normatif, dan yurisprudensi yang begitu kokoh, fokus selanjutnya beralih pada bagaimana konsep ini terwujud dalam realitas historis dan bagaimana sejarah itu sendiri menjadi bukti atas urgensinya.
Perspektif Historis: Realitas Persatuan dan Argumen Tandingan
Sejarah Islam, khususnya periode pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada tahun 1924, menjadi bukti empiris yang paling fasih mengenai urgensi persatuan institusional dan dampak destruktif dari perpecahan yang direkayasa. Realitas historis ini memperkuat argumen teologis dan normatif tentang keniscayaan Khilafah.
Konsekuensi Runtuhnya Khilafah
Kehancuran Khilafah Utsmaniyyah bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan puncak dari perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam selama ratusan tahun. Dampak langsung dari keruntuhan institusi pemersatu ini sangatlah tragis dan terasa hingga hari ini:
- Penjajahan Palestina: Beberapa dekade setelah Khilafah runtuh, tanah Palestina secara resmi dijajah oleh entitas Zionis dengan restu dari kekuatan Barat melalui Persatuan Bangsa-Bangsa.
- Fragmentasi Dunia Islam: Wilayah-wilayah kaum Muslim dipecah-belah menjadi lebih dari 50 negara-bangsa yang lemah dan seringkali saling berkonflik.
- Eksploitasi Sumber Daya Alam: Kekayaan alam dunia Islam yang melimpah dieksploitasi secara masif oleh kekuatan kapitalis Barat, sementara penduduknya banyak yang hidup dalam kemiskinan.
Dekonstruksi Mitos Perpecahan Historis
Argumen tandingan seringkali muncul dari pembacaan sejarah yang ahistoris atau terfragmentasi, yang mengklaim bahwa sejarah Khilafah itu sendiri dipenuhi dengan perpecahan. Namun, analisis yang cermat terhadap yurisprudensi politik Islam dan fakta sejarah akan membantah klaim-klaim tersebut.
- Era Ali bin Abi Thalib vs. Muawiyah: Konflik yang terjadi bukanlah antara dua khalifah. Khalifah yang sah pada saat itu hanyalah Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abi Sufyan tidak mengklaim dirinya sebagai khalifah selama masa kekuasaan Sayyidina Ali, melainkan sebagai penguasa di wilayah Syam yang menuntut penuntasan kasus terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.
- Abbasiyyah vs. Umayyah di Andalusia: Meskipun sisa-sisa kekuatan Bani Umayyah mendirikan kekuasaan di Andalusia, para ulama menegaskan bahwa khalifah yang sah secara syar’i pada masa itu hanya satu, yaitu Khilafah Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Status Andalusia lebih menyerupai sebuah wilayah kegubernuran yang terpisah dan tidak menggugurkan prinsip kesatuan Khilafah.
- Dinasti Fatimiyyah di Mesir: Para ulama besar seperti Al-Hafizh As-Suyuti tidak pernah mengakui keabsahan Dinasti Fatimiyyah sebagai Khilafah Islam. Mereka justru menganggapnya sebagai kekuasaan yang didirikan oleh kelompok sesat (zindiq) dari kalangan bathiniyyah, sehingga tidak dapat dijadikan preseden adanya dualisme khilafah yang sah.
Realitas historis menunjukkan bahwa prinsip satu khalifah untuk seluruh umat Islam senantiasa dijaga. Lantas, bagaimana cara mengembalikan institusi pemersatu ini berdasarkan metode kenabian?
Jalan Menuju Kebangkitan: Metode Dakwah Menegakkan Kembali Khilafah
Upaya untuk menegakkan kembali Khilafah (iqamatul khilafah) di era modern bukanlah sebuah perjuangan tanpa metode. Ia menuntut sebuah jalan dakwah yang sistematis dan strategis, yang sepenuhnya ditarik dari sirah Nabi Muhammad SAW ketika beliau mendirikan negara Islam pertama di Madinah. Metode restorasi ini, yang berpusat pada perang pemikiran (shira’ul fikri) dan pembentukan kesadaran umum, merupakan cerminan antitesis dari metode penghancurannya, yang juga bertumpu pada perang pemikiran (ghazwul fikri) oleh para kolonialis.
Tiga Tahapan Metode Dakwah (Thariqah Dakwah)
Metode kenabian ini terdiri dari tiga tahapan (marhalah) yang harus ditempuh secara berurutan dan berkelanjutan:
- Marhalah At-Tatsqif (Tahap Pembinaan dan Pengkaderan): Tahap awal ini berfokus pada pembinaan intensif untuk membentuk kader-kader dakwah yang memiliki pemahaman Islam ideologis yang kokoh dan mendalam. Tujuannya adalah melahirkan individu-individu yang siap mengemban dakwah dan menjadi tulang punggung perjuangan.
- Marhalah At-Tafa’ul ma’al Ummah (Tahap Interaksi dengan Umat): Setelah kader terbentuk, dakwah bergerak ke tahap interaksi dengan masyarakat luas. Pada tahap ini, para pengemban dakwah berjuang untuk membentuk kesadaran umum (wa’yul ‘amm) di tengah-tengah umat tentang urgensi penerapan syariat Islam secara kaffah melalui institusi Khilafah. Aktivitasnya meliputi perang pemikiran (shira’ul fikri) untuk melawan ide-ide sekuler dan mengadopsi permasalahan umat (tabanni mashalih al-ummah) dengan menawarkan solusi Islam.
- Marhalah Istilamul Hukmi (Tahap Penerimaan Kekuasaan): Ini adalah tahap puncak, di mana kesadaran umum di tengah umat telah terbentuk dan dukungan menguat. Proses utamanya adalah thalabun nusrah (mencari pertolongan) yang ditujukan kepada para pemilik kekuatan riil di tengah masyarakat (ahlul quwwah), seperti para pemimpin militer atau tokoh berpengaruh, untuk memberikan dukungan mereka demi tegaknya sistem Islam secara institusional.
Jalan perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah ini bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah keniscayaan yang didasarkan pada keyakinan yang teguh atas janji pertolongan Allah SWT (nasrullah) dan kabar gembira (bisyarah) yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di Ngaji Shubuh TV:
