
Oleh : Resti Yuslita S.S
Derita rakyat Gaza kian hari kian memilukan. Data terakhir dari pihak otoritas kesehatan Gaza menyebut jumlah korban tewas di Jalur Gaza pasca serangan Israel pada 7 Oktober 2023 silam menembus angka 56.412 orang. Ini belum termasuk korban luka sebanyak 133.054 orang maupun korban yang hilang (cnbcindonesia.com, 29/6/2025).
Begitu banyak kerugian dan penderitaan yang dialami rakyat Palestina terlebih ketika pusat pasokan kebutuhan vital masyarakat seperti bahan bakar dan pangan dengan sengaja dihancurkan oleh pasukan Zionis. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana militer Israel menembaki secara membabi buta kepada para penduduk Palestina yang sedang berjibaku mengambil bantuan makanan di barak pengungsian. Sungguh kekejaman Zionis Israel telah jauh melampaui batas-batas kemanusiaan yang beradab. Namun di balik itu, hakikatnya jauh lebih kejam lagi para pemimpin negeri Muslim yang bungkam di balik sentimen nasionalisme mereka.
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, tengah membangun konsolidasi bersama mitranya, Benyamin Netanyahu. Keduanya ingin mewujudkan adanya gencatan senjata di Gaza dengan melibatkan pemimpin negeri-negeri Arab yang terikat dalam Perjanjian Abraham atau Abraham Accords (news.republika.co.id, 25/6/2025). Perjanjian Abraham merupakan rangkaian kesepakatan yang telah ditandatangani oleh beberapa negara Arab bersama Israel. Perjanjian ini lebih ditujukan untuk menormalisasi hubungan diplomatik antara negara di wilayah jazirah Arab dengan Israel. Perjanjian Abraham ditandatangani pada 15 Agustus 2020. Pada saat ini, Perjanjian Abraham diharapkan dapat menjadi perantara masuknya doktrin solusi dua negara yang digadang-gadang sebagai solusi final guna mengakhiri konflik di Gaza.
Manuver politik yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel telah mengelabui para pemimpin Muslim. Mereka ikut terperdaya dan mengekor pada propaganda menyesatkan: solusi dua negara, Israel dan Palestina hidup berdampingan. Tentu solusi ini tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia manapun. Sebab, mengakui solusi dua negara sama saja dengan mengakui legalitas Israel yang jelas merupakan penjajah dan penjarah tanah Palestina. Tidak layak, meski sejengkal, tanah Palestina diserahkan kepada Yahudi meski seluruh penguasa Muslim diseru untuk meratifikasi solusi tersebut. Betapa banyak pengorbanan para syuhada yang telah membela dengan segenap jiwa raga mereka untuk mempertahankan Palestina dari cengkeraman kafir penjajah.
Seluruh fragmentasi kondisi umat hari ini harusnya menghimpun kita menjadi umat yang satu. Ya, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengakhiri segala bentuk penindasan serta kezaliman di muka bumi ini dengan mengembalikan kehidupan Islam dalam penerapan Islam yang kaffah. Khilafah Islamiyah merupakan jawaban atas ketidakberdayaan umat menghadapi hegemoni penjajah Barat. Khilafah akan menyatukan potensi besar umat Islam yang terbentang dari Maroko hingga Merauke, tak berbilang suku bangsa dan bahasa namun dipersatukan dengan ikatan hakiki; akidah Islam. Mewujudkan tegaknya kembali institusi Khilafah seharusnya menjadi agenda besar umat, menghilangkan sekat imajiner seperti nasionalisme. Fajar kebangkitan umat sejatinya sudah membentang di hadapan kita, saatnya kita songsong bersama dengan perjuangan dakwah Islam ideologis. Allahu Akbar![]