NgajiShubuh.or.id — Beberapa waktu yang lalu terjadi kasus pemberhentian guru yang menertibkan muridnya yang merokok. Peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra. Guru tersebut diberhentikan karena didemo murid-murid yang membela murid yang merokok tersebut. Namun, setelah kasus itu viral dan netizen banyak yang membela guru, akhirnya guru tersebut tidak jadi diberhentikan. Keputusan gegabah pemerintah yang memberhentikan guru patut dipertanyakan. Seharusnya sejak awal pemerintah tidak usah memberhentikan gurunya, karena memang di sekolah dilarang merokok. Anehnya mengapa harus dikritik netizen dulu baru pemberhentian tersebut dicabut?
Dampak peristiwa kriminalisasi guru adalah mereka cenderung cuek dan tidak peduli dengan kondisi muridnya hari ini. Hanya saja, jika itu dibiarkan, tentu negara yang akan memanen masalah generasi yang sangat kompleks. Dalam memahami menegur dan mendidik anak ada hal-hal yang perlu dipahami pendidik dan orangtua, bahwa tugas guru adalah melakukan teguran dan mendidik. Pendidikan dalam pandangan Islam bertujuan utama membentuk karakter Islami (syakhshiyyah islamiyyah) yang berbasis akidah Islam. Mendidik bukan sekadar transfer ilmu, memberikan ujian, atau ijazah, melainkan membentuk akhlak dan ketakwaan. Oleh karena itu, wajar jika pendidik sangat peduli dan mengawal pembentukan karakter, tidak membiarkan sedikit pun penyimpangan dari kepribadian Islam. Bagaimana prinsip Islam dalam mendidik dan melahirkan generasi yang bertakwa?
Prinsip Dasar Pendidikan Adalah Kelembutan
Meskipun tujuan mendidik sangat baik—yaitu membentuk karakter—cara yang dilakukan juga harus benar dan sesuai dengan syariat Islam. Di sinilah letak pentingnya fondasi kelembutan. Prinsip kelemahlembutan (ar-rifqi) ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah ra. Aisyah ra menceritakan bahwa suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah Saw. Mereka lalu (pura-pura memberi salam) tetapi dengan berkata, “As-Saam’alaikum (semoga kebinasaan menimpamu).” Mendengar ucapan mereka tersebut, Aisyah langsung membalas, “Semoga hal (kebinasaan) itu justru menimpa kalian dan semoga Allah Swt melaknat dan murka kepada kalian.”
Rasulullah Saw. balik bertanya, “Tidakkah kamu mendengar ucapanku? Aku telah membalas ucapan mereka tersebut (dengan permohonan yang sama) dan permohonanku itulah yang akan dikabulkan Allah Swt, sebaliknya salam (permohonan) mereka terhadapku (agar mendapatkan kebinasaan) tidak akan dikabulkan.” (HR. Bukhari)
Dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya Dr. Abdullah Nasih Ulwan, terdapat lima unsur metode pendidikan yang harus dipadukan dan saling melengkapi, agar pendidik tidak langsung beralih ke hukuman atau kekerasan. Pertama, mendidik dengan keteladanan (uswatun hasanah). Rasulullah SAW adalah teladan terbaik (uswatun hasanah) dan merupakan living quran. Dalam pendidikan, perilaku lebih kuat diingat daripada perkataan. Jika ada pertentangan antara ucapan dan perilaku, orang cenderung melihat perilakunya. Oleh karena itu, pendidik, baik di pesantren maupun di rumah, harus menunjukkan usaha untuk melakukan yang terbaik dalam hal kebaikan yang mereka sampaikan, seperti semangat dalam keilmuan, adab, dan kebersihan.
Kedua, mendidik dengan pembiasaan. Manusia lahir dengan kecenderungan fitrah pada kebaikan (gharizah tadayyun), namun fitrah ini harus disambung dengan pendidikan dan dakwah. Tanpa pembiasaan yang baik, fitrah bisa tersalurkan ke jalan yang salah, melahirkan perilaku buruk atau nakal. Pembiasaan mencakup rekayasa aktivitas dan rutinitas (misalnya, membiasakan salat tepat waktu, beradab dalam berpakaian, makan dengan tangan kanan, dan membuang sampah pada tempatnya). Karakter atau akhlak terbentuk melalui pembiasaan (habit) dan repetisi, bukan hanya penyampaian materi ceramah.
Ketiga, mendidik dengan nasihat. Nasihat berarti menyampaikan kebenaran dan menegur kesalahan. Berbeda dengan doktrin Barat yang sering menghindari larangan (jangan berkata jangan), dalam Islam terdapat mi’yasul amal (standar perbuatan); halal/haram. Perilaku nakal ada dan harus diperbaiki, bukan hanya dialihkan ke hal positif, sebab pengalihan tanpa penjelasan membuat anak tidak mengerti bahwa perbuatan asalnya adalah salah. Nasihat harus menjelaskan, misalnya bahwa syirik adalah kezaliman yang besar, sebagaimana Luqman berkata kepada anaknya.
Keempat, mendidik dengan pengawasan dan perhatian. Pengawasan didasarkan pada firman Allah, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Menjaga berarti mengontrol agar keluarga tidak berbuat dosa yang mengantar ke neraka. Pendidik harus senantiasa berada di tengah-tengah anak didik untuk mengawasi dan mendampingi, sehingga teguran dapat diberikan sewaktu-waktu, bahkan untuk hal-hal kecil seperti lupa memakai peci. Orangtua (ayah) juga memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik dan mengawasi, yang disesali oleh kaum laki-laki di zaman Bani Umayyah ketika mereka dipenjara.
Kelima, mendidik dengan hukuman atau sanksi. Hukuman adalah hak terakhir dalam metode pendidikan. Keberadaan hukuman terbukti dalam hadis mengenai salat: perintahkan salat pada usia 7 tahun, dan pukul bila tidak melaksanakannya pada usia 10 tahun. Hukuman di sekolah/rumah (yang tujuannya mendidik dan memperbaiki kesalahan) berbeda dengan hukuman yang diberikan oleh negara (daulah) seperti hudud atau qishas (yang menangani jarimah atau kriminalitas). Hukuman harus diberikan secara bertahap (ringan, sedang, berat) setelah serangkaian edukasi, penyadaran, dan teguran lisan tidak efektif. Teguran lisan harus didahulukan. Bentuk hukuman fisik yang masih dapat diterima lebih cenderung bersifat aktivitas (amal saleh) atau olahraga, seperti push-up atau membersihkan toilet (selama dalam batas kemampuan), bukan penyiksaan.
Pendidik harus memiliki sifat sabar. Menindak kesalahan adalah keharusan, namun harus dilakukan dengan kepala dingin dan tidak dengan emosi. Pukulan yang dilakukan “puluhan kali sampai memar” di lembaga pendidikan dinilai tidak bijak, karena berpotensi memicu rasa takut dan trauma yang tidak baik bagi atmosfer pendidikan. Sebaiknya, jika pelanggaran terlalu berat dan tidak bisa ditangani, anak dikembalikan kepada orangtua daripada menimbulkan trauma akibat pemukulan. Selain itu, kekerasan nonverbal (celaan, hinaan, bullying verbal) lebih menyakitkan dan dilarang dalam Islam, bahkan kepada sesama Muslim. Penting bagi orangtua dan sekolah untuk bekerja sama dalam pendidikan, membuat kesepakatan di awal, dan tidak memandang sekolah sebagai “bengkel” atau ketok magic untuk memperbaiki akhlak anak sendirian.[] Ika Mawarningtyas
Disarikan dari YouTube Ngaji Shubuh TV:
