Banyak yang mengira pertarungan utama dalam keimanan adalah antara percaya dan tidak percaya. Namun, pertarungan yang sesungguhnya justru dimulai jauh lebih fundamental: antara tunduk pada hukum Allah atau pada hukum Thagut—dan tidak ada wilayah abu-abu di antara keduanya.
Istilah ‘Thagut’ sering kali terdengar, namun maknanya yang terdalam sering terabaikan, disempitkan hanya pada berhala fisik. Padahal, memahami konsep ini secara benar adalah inti dari tauhid.
Hanya Ada Dua Jenis Hukum: Hukum Allah dan Hukum Jahiliyah
Hal pertama yang paling fundamental adalah simplifikasi yang tegas mengenai sistem hukum di dunia. Menurut penjelasan Imam Al-Qurthubi, hukum secara fundamental hanya terbagi menjadi dua kategori, tanpa ada area abu-abu. Kategori pertama adalah hukum Allah (hukmullah), dan kategori kedua adalah semua hukum selainnya, yang disebut sebagai hukum Jahiliyah (hukmul jahiliyyah).
Implikasinya sangat mendalam: segala sistem hukum, undang-undang, atau peraturan yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara otomatis masuk ke dalam kategori hukum Jahiliyah. Tidak ada posisi netral atau jalan tengah. Penegasan ini disampaikan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya:
“Hukum itu hanya ada dua: hukum Allah dan hukum Jahiliyah. Barang siapa menolak hukum Allah dan menganggap baik hukum selain-Nya… maka ia telah masuk ke dalam firman Allah: ‘Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?'”
Pemahaman biner ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali setiap sistem yang kita anut. Ketika seseorang menolak hukum Allah dan pada saat yang sama menganggap baik sistem hukum lain, ia sejatinya sedang mencari dan menerapkan hukum Jahiliyah.
Thagut Bukan Hanya Patung, tapi Juga Sistem, Pemimpin, dan Ideologi
Pemahaman umum sering kali menyempitkan makna Thagut hanya sebatas berhala fisik. Namun, ulama besar seperti Ibnu Qayyim memberikan definisi yang jauh lebih komprehensif. Thagut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas, baik itu yang disembah, diikuti, atau ditaati.
Secara lebih spesifik, Thagut mencakup:
- Pihak yang menetapkan hukum selain dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Ini bisa berupa individu, lembaga legislatif, atau negara yang menjadi sumber hukum tandingan.
- Sesuatu yang disembah selain Allah. Ini mencakup berhala fisik maupun konsep abstrak yang dipuja dan diagungkan.
- Seseorang yang diikuti tanpa petunjuk dari Allah. Pemimpin atau tokoh yang diikuti secara membabi buta tanpa landasan wahyu.
- Seseorang yang ditaati dalam hal yang bukan merupakan ketaatan kepada Allah. Ketaatan yang diberikan pada perintah yang bertentangan dengan syariat Allah.
Definisi yang luas dari Ibnu Qayyim ini menggeser Thagut dari sekadar objek menjadi sebuah prinsip, yaitu prinsip penandingan terhadap otoritas Allah. Ini menegaskan wawasan pertama bahwa setiap sistem hukum, pemimpin, atau ideologi seperti sekularisme, kapitalisme, dan demokrasi yang tidak bersumber dari wahyu secara otomatis menjadi manifestasi Thagut di zaman modern.
Sekularisme Adalah “Fenomena Lokal” Barat, Bukan Masalah Universal Islam
Setelah memahami betapa luasnya cakupan Thagut, wajar jika kita bertanya: dari mana datangnya bentuk Thagut modern yang paling dominan, yaitu sekularisme? Jawabannya ternyata sangat mengejutkan dan bersifat lokal.
Sebuah argumen yang sangat mencerahkan—yang ironisnya juga disuarakan oleh teolog Kristen Indonesia, TH Sumartana—menyatakan bahwa sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) bukanlah ide universal, melainkan produk dari problem historis yang spesifik dalam masyarakat Kristen di Barat. Lahirnya sekularisme di Barat dipicu oleh setidaknya tiga masalah fundamental yang tidak pernah ada dalam sejarah Islam:
- Masalah orisinalitas Bibel: Adanya keraguan signifikan di kalangan teolog Kristen sendiri mengenai otentisitas teks kitab suci mereka.
- Masalah teologi Trinitas: Konsep ketuhanan yang rumit dan menjadi sumber perdebatan panjang yang baru ditetapkan ratusan tahun setelah Nabi Isa.
- Konflik historis antara gereja dan sains: Pertentangan sengit antara doktrin gereja (misalnya, teori geosentris) dengan penemuan ilmiah (teori heliosentris) yang menimbulkan trauma mendalam.
Islam, di sisi lain, tidak memiliki masalah-masalah ini. Otentisitas Al-Qur’an terjamin, konsep tauhid begitu lugas dan jernih, serta sejarahnya justru dipenuhi dengan dorongan terhadap pengembangan sains. Jika kita tarik benang merahnya, umat Islam tidak seharusnya “mengimpor” solusi (sekularisme) untuk masalah yang tidak pernah mereka miliki.
Beriman kepada Allah Tidak Cukup, Harus Diawali dengan Mengingkari Thagut
Ini adalah salah satu pilar keimanan yang paling sering terlewatkan. Untuk membangun keimanan yang kokoh (al-urwatul wutsqa), Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan kita untuk beriman kepada Allah, tetapi meletakkan satu syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu: mengingkari Thagut secara aktif.
Prinsip ini termaktub secara gamblang dalam firman-Nya di Surah Al-Baqarah ayat 256: “Barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…”
Urutannya tegas: pengingkaran (kufur) terhadap Thagut mendahului penegasan iman (iman) kepada Allah.
Wawasan ini mengubah tauhid dari sekadar warisan menjadi sebuah pilihan sadar dan perjuangan. Ini bukan hanya penolakan spiritual, tetapi juga penolakan intelektual. Menolak solusi Barat seperti sekularisme untuk masalah yang tidak dimiliki Islam, misalnya, adalah bentuk nyata dari mengingkari Thagut di level peradaban.
Hasil Penerapan Hukum Thagut: Dari Kesenjangan Ekonomi Ekstrem Hingga Kekacauan Sosial
Jika Thagut adalah konsep, maka dampaknya di dunia nyata sangatlah konkret dan merusak. Penerapan sistem sekuler-kapitalis—sebagai salah satu bentuk hukum Thagut modern—secara faktual tidak menghasilkan kemuliaan, melainkan kerusakan. Ini adalah buah logis dari sebuah masyarakat yang dibangun di atas pondasi syirik sistemik, di mana loyalitas dan ketaatan tertinggi diberikan kepada selain Allah.
Beberapa bukti nyata dari kegagalan sistem ini antara lain:
- Kesenjangan ekonomi ekstrem: Laporan Oxfam menunjukkan bagaimana kekayaan dunia terpusat hanya pada segelintir orang. Di Indonesia, 98% rekening bank memiliki tabungan di bawah Rp100 juta, sementara segelintir elite di puncak menguasai ribuan triliun rupiah.
- Kekacauan politik global: Konflik berkepanjangan yang penuh kebohongan dan kekejaman seperti yang terjadi di Gaza dan Sudan adalah buah dari sistem politik yang tidak berlandaskan keadilan ilahiah.
- Krisis sosial yang parah: Merebaknya fenomena LGBT, tingginya angka perceraian, hingga krisis demografi akibat keengganan menikah (seperti di Jepang dan Korea) menunjukkan runtuhnya nilai-nilai fundamental dalam masyarakat.
Paradoksnya adalah, masyarakat di pusat kapitalisme itu sendiri mengakui kegagalan sistem mereka, seperti yang ditunjukkan oleh demonstrasi “We are the 99%” di Wall Street, yang memprotes sistem yang hanya menguntungkan 1% populasi.
Sebuah Refleksi untuk Masa Depan
Memahami hakikat Thagut secara komprehensif—sebagai hukum, sistem, dan ideologi yang menandingi Allah—adalah langkah awal yang krusial. Wawasan ini membuka mata kita bahwa banyak realitas yang kita anggap normal sesungguhnya merupakan manifestasi Thagut yang menjauhkan kita dari kemuliaan hakiki. Ini bukan sekadar wacana teologis, tetapi sebuah analisis tentang akar permasalahan yang dihadapi umat manusia.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita beriman, melainkan: Dalam sistem mana kita hidup, di bawah hukum siapa kita bernaung, dan kepada siapa loyalitas tertinggi kita berlabuh? Jawaban jujur atas pertanyaan itu akan menyingkap apakah kita telah benar-benar mengingkari Thagut, atau tanpa sadar telah menjadi bagian darinya.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
