Kisah para penentang dakwah Rasulullah ﷺ bisa menjadi sumber pelajaran yang tak ternilai. Sejarah Islam mengajarkan bahwa permusuhan terhadap ajaran Ilahi bukanlah fenomena baru; ia telah terjadi dari masa ke masa, mulai dari era Firaun hingga pembesar-pembesar kafir Quraisy. Mengamati nasib para penentang ini memberikan petunjuk dan penolong bagi kita yang hidup di masa kini.
Cermin dari Rezim Terdahulu: Kisah Firaun
Sebelum meninjau penentang dakwah Nabi Muhammad ﷺ, penting untuk bercermin pada kisah musuh-musuh para nabi terdahulu, seperti Firaun. Allah menggambarkan Firaun sebagai wa Firaunil Autad (Firaun yang memiliki pasak-pasak). Penggambaran tersebut ditafsirkan para ulama sebagai kinayah (kiasan) bagi banyaknya kemah-kemah atau tenda-tenda pasukan yang ia miliki, menunjukkan kekuasaannya yang besar dan bala tentara yang tak terhitung.
Firaun bahkan berani mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi (anā rabbukumul a‘lā). Namun, nasibnya berakhir dengan kehinaan; Allah menenggelamkan Firaun dan bala tentaranya di dasar lautan. Allah menegaskan bahwa kisah Firaun dan pasukannya ini benar-benar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada Allah (la’ibrata lima yaksya). Para penguasa dan rezim modern yang merasa powerful seharusnya belajar dari Firaun yang pada akhirnya menjadi powerless.
Pengaduan Rasulullah ﷺ dan Kaidah Universal Permusuhan
Perjalanan dakwah Rasulullah ﷺ dihadapkan pada penentangan hebat, yang puncaknya diabadikan dalam Surah Al-Furqan ayat 30:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini mahjuurā (sebagai sesuatu yang diabaikan/ditinggalkan).”
Pengaduan Nabi Muhammad ﷺ ini — yang diucapkan dengan seruan kesedihan (yaa Rabbi) — menurut para ulama, merupakan pertanda kebinasaan bagi kaum tersebut (yaitu kaum kafir Quraisy).
Setelah pengaduan tersebut, Allah menetapkan kaidah universal dalam Surah Al-Furqan ayat 31:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu ada ‘adūwwan (musuh) minal mujrimīn (dari kalangan orang-orang yang jahat/pendosa).”
Musuh-musuh ini disifati sebagai setan dari golongan manusia dan jin. Dalam menghadapi para penentang dakwah ini, petunjuknya jelas: kita wajib kembali kepada petunjuk Allah (Al-Hadi) dan bergantung kepada pertolongan-Nya (An-Nashir), bukan tunduk atau patuh kepada musuh-musuh dakwah.
Kisah Para Pengolok (Al-Mustahzi’īn)
Di antara para penentang dakwah Rasulullah ﷺ terdapat kelompok Al-Mustahzi’īn (golongan yang merendahkan dan mengolok-olok). Mereka di antaranya adalah:
- Al-Ash bin Wail As-Sahami: Tokoh dari Bani Saham yang dikenal sangat keras permusuhannya kepada Rasulullah ﷺ. Ia adalah ayah dari sahabat utama Amr bin Al-Ash, yang menunjukkan bahwa anak dan bapak dapat memiliki jalan yang berbeda.
Al-Ash bin Wail menuduh Nabi Muhammad ﷺ mengelabui para sahabatnya tentang kehidupan setelah mati. Ia juga bersumpah bahwa mereka dibinasakan hanya oleh masa, menolak Hari Kebangkitan.
Ketika ditagih hutang oleh Khabab bin Al-Arth (salah seorang Muslim awal), Al-Ash malah mengolok-olok dengan mengatakan akan melunasi hutang jika ia diberi harta dan anak laki-laki di surga kelak, yang mana ia sendiri ingkar akan adanya surga. Perkataan ini dibantah keras oleh Allah dalam Surah Maryam.
Al-Ash bin Wail juga yang menuding Nabi ﷺ sebagai abtar (terputus nasabnya/terputus dari kebaikan) ketika putra laki-laki Nabi wafat. Allah membalasnya dengan menegaskan dalam Surah Al-Kautsar: “Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (al-abtar).”
- An-Nadhar bin Al-Harith: Ia melakukan kejahatan dengan mengolok dan membandingkan kisah Nabi ﷺ. Ketika Nabi ﷺ bercerita tentang umat-umat terdahulu (seperti Persia), An-Nadhar akan memanggil masyarakat Quraisy dan berkata bahwa ia punya cerita yang lebih baik. Ia menstigma dakwah Muhammad sebagai asāṭīrul awwalīn (dongengan orang-orang terdahulu).
Kelakuan para musuh ini, dari masa ke masa, cenderung sama: mereka menggunakan framing dan stigma negatif (seperti menuding dai-nya radikal) ketika mereka tidak mampu mengalahkan hujjah dan argumentasi dakwah.
Kerugian Dunia dan Akhirat bagi Penentang Dakwah
Para penentang dakwah tidak hanya menghadapi kehinaan di akhirat, tetapi juga kerugian besar di dunia.
Orang-orang kafir mengeluarkan harta mereka yang banyak (yunfiquna amwālahum) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah (liyaṣuddū ‘an sabīlillāh). Allah memastikan bahwa pengeluaran harta tersebut akan menjadi penyesalan yang sangat besar (hasratan) bagi mereka, dan mereka kelak akan dikalahkan (yughlabūn). Pada akhirnya, mereka akan dikumpulkan ke dalam jahanam (ilā jahannama yuḥsyarūn).
Nasib akhir para penentang dakwah sangat tragis. Sebagian besar tokoh utama, seperti Abu Jahal, An-Nadhar bin Al-Harith, dan Uqbah bin Abi Mu’ith, terbunuh dalam peperangan dengan kaum Muslim, seperti Perang Badar Al-Kubra. Sebagian lainnya ditimpakan penyakit yang mematikan dan mati dalam keadaan mengenaskan, di antaranya Abu Lahab, Al-As bin Wail, dan Al-Walid bin Al-Mughirah.
Malaikat Jibril juga turun melindungi Rasulullah ﷺ dan melaknat para pengolok di dekat Ka’bah, menyebabkan kebutaan atau penyakit parah seketika, seperti yang terjadi pada Al-Aswad bin Al-Mutthalib dan Al-As bin Wail.
Pelajaran dan Kesadaran Politik (Siyasah Syar’iyyah)
Kisah para penentang dakwah menegaskan bahwa permusuhan mereka bersifat berkelanjutan dan terstruktur. Oleh karena itu, kaum Mukmin diwajibkan memiliki kesadaran politik (wa’yu siyasi) untuk mengidentifikasi ancaman terhadap dakwah.
Perlu diingat bahwa teladan Nabi Muhammad ﷺ sebagai salaf kita yang mulia adalah memimpin negara dan menerapkan Islam secara kaffah. Periode dakwah Nabi ﷺ di Madinah selama 10 tahun, di mana beliau berfungsi sebagai kepala negara, menunjukkan pentingnya siyasah syar’iyyah (politik syariah).
Kekuasaan negara (sulṭānan naṣīran) berfungsi untuk menegakkan tauhid dan mendukung dakwah. Rumusnya telah terbukti: siapa yang menentang dakwah akhirnya binasa, dan siapa yang mendukung dakwah akhirnya menang. Kaum Muslim hari ini, sebagai pewaris risalah, harus berpegang pada sunnah Nabi ﷺ dan Khulafa Rasyidin yang mencakup sunnah dalam urusan kepemimpinan (imamah).
Yakinlah, Allah akan memberikan pertolongan selama kita berada di jalan dakwah-Nya.[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
