Setiap hari kita dibanjiri oleh berita utama dari seluruh dunia. Namun, di tengah hiruk pikuk informasi, makna sebenarnya atau agenda tersembunyi di baliknya seringkali terlewatkan. Ada sebuah pola yang sama dari tiga peristiwa besar—yang terjadi di Gaza, Suriah, hingga Meksiko—yaitu bagaimana agenda geopolitik global dan kegagalan sistemik sekuler saling berkelindan, dan seringkali dengan mengorbankan kepentingan umat dan rakyat kecil.
Misi 20.000 Tentara ke Gaza: Bantuan Kemanusiaan atau Jebakan Politik Trump?
Di permukaan, rencana Presiden Prabowo untuk mengirim 20.000 tentara perdamaian ke Gaza terdengar sebagai langkah besar dan heroik. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ada beberapa detail mengejutkan yang mengubah narasi ini secara drastis.
Berdasarkan pernyataan resmi, spesifikasi tugas pasukan ini adalah untuk “kesehatan dan konstruksi”, bukan untuk berperang mengusir penjajah. Penugasan ini menciptakan sebuah ironi strategis: tentara yang dilatih untuk perang justru diberi mandat untuk melakukan tugas sipil, sebuah langkah yang secara efektif menetralisir potensi militer mereka di zona konflik paling krusial di dunia.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rencana ini sejalan dengan 21 poin rencana Gaza yang digagas oleh Donald Trump. Ada dua alternatif pengiriman pasukan yang diungkapkan: pertama, di bawah naungan PBB (yang hingga kini belum memberikan persetujuan), atau kedua, di bawah “persetujuan organisasi internasional yang diinisiasi oleh presiden Amerika Serikat”. Poin kedua ini sangat mengungkap ke mana arah kebijakan tersebut.
Peran Yordania juga menjadi kunci. Presiden Prabowo memiliki hubungan personal yang sangat dekat dengan Raja Abdullah II dari Yordania. Dulu, saat Prabowo “kehilangan arah” atau “kena mental” setelah diberhentikan dari militer, Raja Abdullah II-lah yang menolongnya. Kedekatan personal dan ideologis sebagai sesama “alumni Amerika” inilah yang dimanfaatkan Trump. Yordania, yang telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, disinyalir menjadi “titik ungkit” untuk membujuk Indonesia agar masuk ke dalam orbit politik Trump terkait Solusi Dua Negara.
Dengan demikian, misi yang dibingkai sebagai bantuan kemanusiaan ini sejatinya adalah langkah taktis untuk menjerat Indonesia dalam perangkap politik Trump yang mendorong Solusi Dua Negara. Konsep ini, menurut sumber analisis, adalah sebuah pengkhianatan terhadap kaum Muslim dan secara syar’i hukumnya haram karena mengakui keberadaan entitas penjajah.
Perangkap politik yang memanfaatkan pemimpin Muslim untuk melayani agenda Amerika ini bukanlah sebuah anomali. Pola serupa, dengan aktor yang berbeda namun tujuan yang sama, kini juga terungkap dalam babak baru politik di Suriah.
Babak Baru Suriah: Dari Perjuangan Islam Menuju Normalisasi dengan Israel?
Sebuah peristiwa signifikan terjadi ketika Donald Trump menerima kunjungan pemimpin baru Suriah, Ahmad al-Shara, yang sebelumnya berada dalam daftar teroris AS. Kini, Washington berjanji akan “membuat Suriah berhasil”.
Namun, di balik pertemuan ini terungkap agenda tersembunyi yang krusial. Tiga agenda utama yang dibahas adalah: penghapusan sanksi ekonomi, membawa Suriah ke dalam koalisi anti-ISIS, dan yang paling penting, “kemungkinan pembicaraan mengenai normalisasi dengan Israel”. Agenda ekonomi ini diperkuat dengan pertemuan al-Shara dengan IMF untuk membahas “kerangka kerja sama masa depan”, sebuah sinyal jelas Suriah ditarik ke dalam orbit ekonomi Barat.
Ini adalah playbook Amerika yang sudah teruji: gunakan negara proksi regional (seperti Turki dan Yordania) untuk menarik negara Muslim strategis lainnya (seperti Suriah dan Indonesia) ke dalam orbit kebijakan Washington. Turki digunakan sebagai “kepanjangan tangan” Amerika untuk mengendalikan kelompok al-Shara (HTS) dan merekayasa transisi kekuasaan di Suriah.
Esensi dari situasi ini terangkum dalam sebuah pengingat yang kuat:
“Kita ini mulia karena Islam. Kalau kemudian kita mencari kemuliaan di luar Islam, pasti kita tidak akan mendapatkannya. Kemuliaan yang dicari di bawah izin Trump tidak akan pernah menjadi kemuliaan yang hakiki.”
Pergeseran haluan Suriah ini menjadi pelajaran pahit tentang betapa rapuhnya sebuah perjuangan jika sandarannya bukan pada akidah Islam, melainkan pada janji manis dan kalkulasi geopolitik adidaya sekuler.
Jika di Gaza dan Suriah kita melihat permainan politik tingkat tinggi yang mengabaikan solusi hakiki, maka di Meksiko kita menyaksikan konsekuensi dari sistem yang sama di tingkat akar rumput: ledakan amarah publik akibat kebuntuan politik dan kegagalan negara.
Amarah Gen Z di Meksiko: Bukan Sekadar Protes, Tapi Gejala Gagalnya Sistem Demokrasi
Demonstrasi besar yang digerakkan oleh Gen Z di Meksiko dipicu oleh pembunuhan seorang walikota yang dikenal anti-kejahatan. Peristiwa ini menyulut kemarahan publik yang sudah lama terpendam terhadap kekerasan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela.
Namun, analisis yang lebih dalam menunjukkan bahwa ini bukanlah kasus yang terisolasi. Ini adalah contoh nyata dari “ledakan kemarahan massa” yang menunjukkan “buntunya komunikasi politik” dalam sistem demokrasi.
Demokrasi memiliki “cacat bawaan” yang fundamental. Para politisi akan “mengemis-ngemis” suara rakyat saat pemilu. Namun, setelah terpilih dan berkuasa, mereka sibuk mencari cara untuk “mengembalikan biaya politik” dan cenderung mengabaikan aspirasi rakyat. Akibatnya, masalah fundamental seperti korupsi sistemik dan kekerasan struktural terus terjadi tanpa penyelesaian yang tuntas.
Solusi yang dibutuhkan bukanlah sekadar perubahan personal, melainkan perubahan yang sifatnya struktural. Kegagalan sistem sekuler dalam memberikan keamanan dan kesejahteraan secara nyata ini meniscayakan adanya sistem alternatif, yaitu sistem Islam, sebagai solusi yang hakiki.
Membaca Arah Angin Perubahan
Ketiga peristiwa ini, meskipun terjadi di belahan dunia yang berbeda, memiliki benang merah yang sama. Semuanya menunjukkan adanya agenda geopolitik tersembunyi yang seringkali merugikan kepentingan umat Islam serta kegagalan sistemik dari tatanan dunia saat ini dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan sejati.
Di tengah berbagai krisis dan permainan politik global, sudahkah kita melihat dengan jernih di mana letak solusi yang sejati dan ke mana seharusnya kita melabuhkan harapan?[]
Disarikan dari kajian dengan tema tersebut di NSTV:
